yayasanhadjikalla.or.id; Makassar – Stunting menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling disorot di Indonesia. Betapa tidak, dikutip dari laman Kompas.com, hasil riset tahun 2013 menunjukkan prevelensi balita stunting di Indonesia mencapai angka 37,8 persen. Angka yang sama dengan jumlah balita stunting di Ethiophia.
Anak dikatakan stunting ketika pertumbuhan tinggi badannya tak sesuai grafik pertumbuhan standar dunia. Menurut pakar nutrisi dan penyakit metabolik anak, Damayanti Rusli Sjarif, dikutip dari Detik.com, bahwa dampak stunting bukan sekadar tinggi badan anak.
“Kalau anak pendek, ketika remaja dia bisa tumbuh lagi. Ada kesempatan kedua untuk menaikkan tinggi badan. Tapi kalau sudah stunting terkait pertumbuhan otak, ketika sudah besar, anak tidak bisa diobati lagi,” jelas Damayanti.
Data Riset Kesehatan Nasional (Riskesdas) 2019 yang diolah Lokadata Kumparan.com menunjukkan, bahwa 30,8 persen balita di Indonesia mengalami stunting. Angka ini turun jika dibandingkan data Riskesdas 2013, yakni 37,2 persen. Meski demikian, angkanya masih jauh dari target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 20 persen.
Ambang batas prevalensi stunting dari WHO mengategorikan angka stunting 20 sampai kurang dari 30 persen sebagai tinggi, dan lebih dari atau sama dengan 30 persen sangat tinggi. Indonesia tidak sendiri. Ada 44 negara lain dalam kategori angka stunting sangat tinggi (Reruters.com).
WHO juga mencatat, 60 dari 134 negara masih memiliki tingkat stunting di bawah standar 20 persen. Padahal, stunting adalah indikator kunci kesejahteraan anak secara keseluruhan. Negara-negara dengan angka stunting tinggi merefleksi ketidaksetaraan sosial di dalamnya.
WHO menjadikan stunting sebagai fokus Global Nutrition Targets untuk 2025, juga Sustainable Development Goals untuk 2030.
Masih soal stunting, menilik dari kacamata lain, dikutip dari Tribunnews.com, peneliti bidang sosial The Indonesian Institute, Umi Lutfiah berpendapat bahwa pencegahan masalah stunting harus berfokus pada remaja perempuan. Karena untuk melahirkan generasi bebas stunting di kemudian hari, para remaja perempuan ini harus memiliki gizi baik terlebih dahulu.
Tidak hanya dari aspek kesehatan, peningkatan peran perempuan dalam ekonomi keluarga dan pengasuhan anak juga penting. Pasalnya, jika perempuan punya posisi ekonomi baik dalam keluarga, daya tawar mereka pun lebih baik. Termasuk dalam penentuan belanja keluarga. Perempuan diharapkan bisa mengutamakan gizi anak atau balita dalam belanja keluarga (4/12/2019).
“Di antara negara-negara G20, Indonesia angka stuntingnya tinggi. Oleh karena itu untuk menggalakkan upaya pencegahan stunting, maka dibentuk tim khusus pencegahan stunting yang dikomando langsung oleh Bapak Jusuf Kalla. Tak hanya Kemenkes yang punya andil, tapi juga semua kementerian dan lembaga sosial terkait” tutur Menteri Kesehatan Nila F Moeloek saat konferensi pers di Kementerian Kesehatan, Jumat (18/10/2019) dikutip dari kumparan.com.
Yayasan Hadji Kalla menjadi lembaga sosial yang serius dalam isu stunting, dimulai di tahun 2019 ini, bersinergi dengan Tim Percepatan Pencegahan Anak Kerdil, Sekretariat Wapres telah melakukan langkah-langkah awal dalm penangan masalah stunting di Wilayah Sulawesi Selatan.
Dimulai dengan diadakannya pelatihan untuk para ibu dan kader kesehatan dalam rangka pencegahan dan penurunan angka stunting di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros, 25 hingga 27 September 2019 yang lalu. Tercatat ada lebih dari seratus peserta yang mengikuti pelatihan, dengan harapan bahwa peserta yang hadir bisa menerapkan pengetahuan yang didapatkan selama pelatihan untuk mengatasi kebutuhan gizi dan nutrisi tambahan calon ibu dan remaja putri dalam mempersiapkan kehamilan yang sehat sehingga nantinya melahirkan anak yang terhindar dari stunting.
Di tahun 2020, Yayasan Hadji Kalla akan lebih fokus dan massif dalam isu penanganan masalah stunting dengan mempersiapkan program kerja untuk bisa mencapai angka penurunan stunting yang diminta oleh WHO, yakni sebesar 25 persen di Wilayah Sulawesi Selatan.
(Bur)