Setiap daerah memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda. Budaya dan adat menjadi ciri khasnya. Seperti Kelurahan Garassi Kecamatan Tinggi Moncong Kabupaten Gowa, masyarakat masih meyakini adanya ritual dalam menghadapi musim tanam padi. Sebagian besar, masyarakatnya bergelut dibidang pertanian khususnya bercocok tanam padi. Pertumbuhan dan produksi padi sangat bergantung pada iklim. Perubahan cuaca dari musim hujan ke musim kemarau yang berkepanjangan menjadi masalah utama masyarakat setempat. Sehingga, masyarakat tidak dapat menentukan waktu tanam yang tepat. Selain itu, munculnya cekaman kekurangan dan kelebihan air, serangan hama dan penyakit tanaman, serta penggunaan varietas yang tidak sesuai dengan kondisi lahan desa menjadi keluhan masyarakat.
Dalam menghadapi masalah tersebut, masyarakat Garassi meyakini beberapa ritual dalam melihat dan menentukan waktu tanam yang tepat berdasarkan prakiraan cuaca dan adat para leluhur. Masyarakat setempat menyebutnya adat Sampulo Rua Gantarang-Garassi (Adat 12 Gantarang Garassi). Adat ini masih dijalankan oleh masyarakat hingga saat ini.
Adat Sampulo Rua adalah budaya yang dilakukan oleh masyarakat sebelum dan sesudah menanam padi. Adat ini memiliki 7 tahapan, yakni:
Accera’ sapi
Adat ini dilakukan sebelum turun ke sawah, dimana masyarakat membawa berbagai makanan ke sawah seperti songkolo (makanan yang terbuat dari beras ketan), ayam, pisang, beras, dan kue-kue tradisional. Selain itu, tak lupa mereka membawa cera’ jangang (darah ayam segar yang sudah dimasukkan ke dalam wadah). Terdapat semacam ritual yang dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan berdoa kepada Tuhan agar tanaman padi mereka mendatangkan rezeki kepada masyarakat. Ritual tersebut diakhiri dengan makan bersama sebagai bentuk rasa syukur karena masih diberikan umur yang panjang untuk kembali bekerja di sawah.
Appalili’
Adat Appalili’ dilakukan oleh masyarakat dengan menentukan waktu satu malam. Dimana masyarakat diundang dan berkumpul untuk membicarakan segala hal sebelum turun ke sawah, termasuk jadwal tanam, bibit dan pemupukan. Acara ini bisa dikatakan Tudang Sipulung (Tudang = duduk, Sipulung = berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu musyawarah besar). Acara Appalili’ kemudian dilanjutkan keesokan harinya dengan rangkaian kegiatan membawa sapi keliling sawah sebanyak 3 (tiga) kali. Setelah itu sawah sudah dapat dibajak atau diolah.
Accera’ Solongang
Adat Accera’ Solongang hampir sama dengan accera’ sapi, dimana masyarakat kembali melakukan ritual di sawah, khususnya di daerah solongang (drainase) dengan membawa cera’ jangang (darah ayam segar). Masyarakat membawa banyak makanan seperti songkolo, ayam dan kue-kue tradisional untuk dinikmati bersama-sama di sawah. Tujuan dari ritual Accera’ Solongang ini adalah meminta dan berdo’a kepada Tuhan agar saluran air dilancarkan.
Appattumbu tanang
Tahapan adat sampulo rua selanjutnya adalah Appattumbu tanang, dimana pada tahap ini masyarakat mulai menanam padi. Pada hari pertama menanam, masyarakat patungan untuk potong ayam 5 ekor dan dibawa ke pemangku adat untuk diolah. Setelah dari menanam padi, mereka pulang ke rumah pemangku adat untuk makan dan bersilaturahmi serta membicarakan kembali masalah-masalah yang ditemui di sawah.
Ajjuru-juru
Adat ini dimaksudkan lebih kepada pemeliharaan tanaman padi, dimana masyarakat membersihkan sawah-sawah mereka dari gangguan gulma, termasuk perbaikan jalanan ke sawah. Adat Ajjuru-juru ini adalah aksi gotong royong masyarakat untuk pemeliharaan tanaman padi mereka.
Apparangka’ liing
Pada adat kali ini, masyarakat diberitahu oleh pemangku adat 3 hari sebelum panen, dimana masyarakat dilarang menebang kayu, dan kembali fokus untuk persiapan panen raya.
Appapole
Appapole merupakan tahap akhir adat Sampulo Rua. Pada tahap ini seluruh rumah yang ada di kampung, masing-masing harus membawa 1 ekor ayam ke rumah pemangku adat untuk persiapan pesta panen yang nantinya akan dimakan secara bersama-sama. Pada acara pesta panen, biasanya dihadiri oleh pemerintah setempat. Ada 2 orang yang harus memakai pakaian adat, kain sutra, dan memakai pattonro/passapu dikepalanya. Kedua orang tersebut sering dinamakan Paddekko. Mereka yang bertugas nantinya untuk menumbuk padi. Masyarakat Garassi sering menyebutnya dengka barutu dan dengka dalam (artinya menumbuk padi dengan bunyi yang berbeda).
Seperti itulah adat yang masih dilestarikan di Kelurahan Garassi, penuh dengan nilai-nilai sosial. Persatuan masyarakat masih kental, dan budaya gotong royong masih senantiasa menjadi nilai pemersatu para petani Garassi. Salah satu pemangku adat Dg.Mile dari Kampung Mamampang, Lingkungan Bulaenta mengatakan bahwa tujuan adat Sampulo Rua ini adalah untuk menguatkan persatuan warga, saling gotong royong, ini bukanlah suatu penyimpangan agama karena kita tetap meminta kepada Tuhan, namun kami meyakini bahwa jika dilaksanakan secara bersama-sama di sawah kita lebih mudah mengumpulkan warga secara keseluruhan.
Kelurahan Garassi adalah salah satu desa binaan program Desa Bangkit Sejahtera (DBS), Community Care And Development, Yayasan Hadji Kalla. Penelitian ini dilakukan oleh fasilitator desa ketika melakukan survei pendalaman potensi desa binaan selama satu bulan.
Peneliti dan Penulis : Andri S.P – Sarjana Pendamping DBS Yayasan Hadji Kalla, Kelurahan Garassi Kec.Tinggi Moncong Kab.Gowa, ditulis pada tanggal 16 November 2016.
Andri dari sisi kiri memakai topi, tersenyum sambil menikmati
makanan khas Garassi dalam Ritual adat Sampulo Rua.
Leave A Comment